Nama gue Indra, dan gue ganteng. oke
gue tau itu gak penting. Gue mau tanya, pernah gak lo ngerasain
trekking ke air terjun dengan perjuangan yang amat sangat menguras
betis, memompa paru – paru, mencucurkan keringat berlebih, dan
mengurangi kadar kegantengan seseorang? Curug Seribu adalah salah
satu pelakunya.
Berjarak kurang lebih dua jam dari
Jakarta, Curug Seribu bertengger dengan gagah di kawasan Wana Wisata
Gunung Bunder, Bogor. Gunung? Bunder pula? Jangan ngeres lo! Itu
beneran namanya. Tempat ini juga termasuk dalam komplek Taman
Nasional gunung Halimun Salak (TNGHS) dimana salah satu pintunya
menjadi gerbang untuk mendaki Gunung Salak, salah satu gunung seksi
di Jawa Barat.
Walaupun Curug Seribu berlokasi di
tengah – tengah Wana Wisata, namun untuk mencapai gerbang trekking
ke Curug Seribu tidaklah susah. Ada angkot warna biru bernomor 23
yang memang trayeknya melalui jalur mobil di wana wisata gunung
bunder. Selama lo bukan rampok, gue yakin abangnya mau kok untuk
disewa. Revisi! jangan abangnya yang lo sewa, angkotnya ya.
Juga Jangan khawatir jika lo gak bawa
logistik apa – apa, digerbang trekking ke Curug Seribu ini sudah
banyak warung yang menyediakan makanan ringan mulai dari mie, teh
manis, dan makanan kecil lainnya. Untuk yang tanya apakah ada tukang
pijit, sori sob, ini warung, bukan mas – mas penjaga villa.
Biaya Rp. 5.000 rupiah tentunya tidak
mahal jika dibandingkan dengan pengalaman dan sensasi yang akan kita
dapat jika melakukan trekking ke Curug Seribu. Yah, walaupun agak
sedikit ambigu jadinya apakah ini Curug Seribu atau Curug Lima ribu.
Tapi ya sudahlah.
Seperti yang gue bilang sebelumnya
bahwa trek ini akan membuat nafas kita terpompa maksimal sekaligus
akan mengurangi kadar kegantengan dan sedikit melunturkan make – up
bagi wanita. Jalur trekking kombinasi antara batu, tanah,
konblock, dan sungai menjadi penghias jalur selama perjalanan. Yang
menarik adalah ketika kita berangkat, 80% jalur di dominasi oleh
turunan yang terjal. Lama perjalanan sekitar 30 – 40 menit menuju
lokasi air terjunnya.
Dalam perjalanan, kita bisa melihat
megahnya hutan hujan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak ini, kawasan
hutan hujan tropis terbesar di Indonesia. Hujaunya padang rumput,
rimbunnya pepohonan berbatang besar, bunga – bunga yang berwarna
warni di kanan dan kiri jalur menjadi penghias perjalanan kita. Tak
Cuma itu, banyak serangga – serangga unik yang juga mengeluarkan
suara khas nyanyian hutan rimbun. Ahhh, sejuknya bau embun khas hutan
hujan pun kian terasa.
Megah dan gagah, atau entah kata
apalagi yang tepat melukiskan ketika pertama kali mata kita tertuju
pada Ton bahkan mungkin Kiloton air yang turun menghujam ke kolam
penampungnya yang senantiasa pasrah dan setia, atau mungkin malah
bangga. Melihat curug seribu di depan mata seperti seakan melihat
kekerenan ciptaan Tuhan yang langsung menusuk ke ulu hati. Mak Tujleb
gitu lah pokoknya. Nyesek, bikin mata melotot, lalu buat kita
berlutut.
Keindahan destinasi ini ternyata bukan
hanya terletak di Gagahnya Curug Seribu. Seakan mempertegas bahwa si
gagah pun butuh si manis sebagai pelengkap, curug – curug kecil pun
bertaburan di dinding tebing. Manis sekali. Meghujani bumi bak
mempertegas bahwa dia pun ada, nyata, dan seperti curug seribu dia
juga didepan mata.
Yang perlu diperhatikan ketika sampai
ke destinasi ini adalah, jangan dekat – dekat dengan si gagah.
Ingat! Dia gagah! Begitu mendekat dan bahkan merapat, tak akah ragu
lo akan digagahi! Hohoho. Maka pihak Taman Nasional sudah membuat
batas berupa tali dan jangan sekali – kali melewatinya. Ingat! Lo
akan diga… ah, lo sendiri aja yang lanjutin. Gue ngilu.
Ternyata sensasi seni trekking di
kawasan curug seribu ini belum berhenti. Ingat bahwa jalur ke lokasi
si gagah ini dari titik awal perjalanan adalah 80% berupa turunan
terjal. Nah, tentunya angka 80% itu tetap dipakai, namun kalimat
selanjutnya harus berubah bukan? Yap, 80% turunan terjal berubah
drastis menjadi 80% tanjakan terjal. Seterjal apa? Seterjal idung lo
nyium lutut sob. Lo coba aja sekarang!
Dan itulah alam, melalui Curug Seribu
tidak hanya menampakkan kegagahannya sendiri tapi dia juga berbagi
karena percayalah, jalur ke si gagah juga membuat kita bertambah
gagah. Wet, gak berlaku buat gue sih, soalnya gue udah gagah dari
dulu sob! *kibas rambut, puter badan, jalan sambil goyang pinggul…
Pada akhirnya memang perjalanan menemui
si gagah ini bukan hanya sekedar beranjangsana ria. Melihat si gagah
dari jauh seakan menghipnotis kita untuk mendekat lalu membuat stimulus otak kita bergerak
lebih cepat untuk memompa jantung yang bahkan berdegup lebih cepat
lagi.
“Gue kecil ya?” pikir gue sambil melihat ke-bohay-an badan
gue dan membandingkannya dengan Curug Seribu. “Yes! Uhuy! Lalala!
Yeyeye!” pikir gue lagi sambil goyang – goyang tangan ala musik
pagi, “akhirnya gue terlihat kecil!”
Ya, di hadapan si gagah curug seribu,
gue terlihat kecil. Lalu, bagaimana gue di hadapan Sang Maha Gagah?
@maundra51
Bogor, 20 Januari 2013